Dicky dan Dasaad Musin Building
Akhir Juli 2005, aku mengajak kemenakanku, Dicky, yang datang dari Jambi mengitari kawasan kota tua Jakarta. Alasan klise ku pada bocah kelas menengah daerah itu, bahwa aku ingin memperlihatkan sisi lain dari kota Jakarta yang selama ini dimanipulasi oleh, mall, sinetron dan demonstrasi. Ah, tetapi sebenarnya Dicky yang baru lulus SMA itu mengerti, Om-nya yang lagi hidup susah ini hanya ingin mengalihkan kemenakannya dari mall yang berbiaya tinggi.
Kami duduk pada bangku besi yang terletak di pinggir taman Fatahillah. Lelah berceloteh tentang Museum Sejarah Jakarta, aku membalikkan badan menatap sesosok bangunan tua yang rapuh, sebagian diantara dindingnya nyaris hancur. Bangunan itu tampak seperti sisa dari sebuah perang yang kejam. Aku balik berjalan mengitari bangunan tersebut hingga persis di belakang bangunan tepatnya di jalan Kali Besar, aku bisa melihat sisa goresan nama pada dinding bangunan, Dasaad Musin Building. Bangunan itu membangkitkan gairah. Ini seperti penemuan yang mendebarkan, memecah kebekuanku menunggu terbitnya novel Negara Kelima.
Aku tidak memiliki kamera digital pada saat itu, pun aku tidak memiliki keterampilan untuk menggoreskan sketsa bangunan yang sexy itu. Tetapi dari dalam tas buru-buru aku keluarkan kertas dan pinsil, aku menggambar denahnya lengkap dengan keterangan sesuai laporan pandangan mata. Dicky mungkin menganggapku orang gila kesurupan pada akhir Juli penuh dahaga itu. Tetapi aku telah mendapatkan gairah pada hari itu. Dasaad Musin Building, Museum Fatahillah, kantor pos Jakarta Kota hingga gereja Sion dan pelabuhan Sunda Kelapa adalah gairah baru. Dua tahun kemudian, gairah pada Juli yang kerontang menjadi api yang membakar ikon VOC! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar