Bang Biner, membuatku terkesan. Di tengah-tengah pengurus ia berbicara datar tentang pentingnya mempertahankan stadion. Ini malam yang panas di Menteng, para tuyul tengah gentayangan di antara rumah mewah tak berpenghuni. Aku berjalan sendiri mengitari stadion. Viosveld dibangun Belanda pada tahun 1921, bila membaca sejarah Persija, kita akan tahu betapa berartinya monumen sejarah ini. Di tengah-tengah pertemua, dua petugas Pemprov DKI masuk dan mengambil potret stadion, mereka diinterogasi massa. Tetapi tidak ada kekerasan. Inilah malam yang hening, ketika aku berbisik pada Bang Biner, ”ini semua mesti kita tuliskan, Bang”, omong kosong yang belum aku tepati hingga saat ini.
Malam dingin, beberapa pemuda berjaga di depan stadion. Ada belasan pedagang akan kehilangan mata pencarian. Ada ribuan manusia Jakarta kehilangan memori. Sementara setan-setan cilik tidak akan pernah tahu, peristiwa di balik stadion kumuh ini. Aku terenyuh tetapi emosi membangkitkan jari untuk segera menekan keyboard, inilah yang kubutuhkan sebuah peristiwa penentangan sejarah!!!
Yang terjadi esok paginya, tentu bisa ditebak, ketika aku dan Aples datang dari Depok setelah mendapatkan mobil Sound System untuk aksi demonstrasi, kami mendapati stadion tengah diruntuhkan. Penyerbuan telah terjadi, beberapa orang dipukuli oleh feses kapitalisme-birokrasi bernama Tramtib. Miftah kena satu bogem mentah di punggung. Beberapa pemuda yang berjaga juga tidak luput dari hajaran. Puluhan polisi mengawal peruntuhan itu. Belasan Provost Angkatan Laut ikut datang, satu orang Letkol (L) pengurus PSAL ikut dalam barisan Biner Tobing, itu sebabnya provost didatangkan. Ah, Viosveld telah diruntuhkan, piala dan piagam serta dokumen berserakan di depan reruntuhan. Aku mengambil beberapa foto, sayang aku lupa di laptop siapa foto itu disimpan. Viosveld benar-benar telah diruntuhkan..habis...hancur, secepat bangsa ini melupakan sejarahnya. Aku teringat Hatta, kita memang bangsa kerdil yang hadir di tengah abad besar!
Begitulah, orang-orang sekarang menikmati Taman Menteng, aku menelan ludah. Bersama anak-anak bengal itu aku ikut berjanji untuk tidak pernah menikmati taman itu. Sejauh ini janji itu masih kami tepati. Itulah pagi jahanam di Menteng. Tetapi untuk menatap sejarah mungkin aku memang perlu melihat sebuah peristiwa penghancuran monumennya. Aku beruntung hadir di malam dan pagi jahanam itu. Tentang Bang Biner, aku baru tahu pada bulan Juli lalu, kalau beliau sudah tidak aktif lagi di Persija pada saat tidak sengaja aku satu hotel dengan sang Letkol Laut yang sekarang telah jadi Kolonel di Manokwari.
Yang paling berharga dalam diri manusia adalah ingatan. Bila itu dihancurkan artinya kita tinggal menjadi gerombolan primata tanpa budaya. Itulah Jakarta.
1 komentar:
VOC. Begitu banyak reinkarnasimu !
http://www.historycooperative.org/journals/jwh/14.2/vink.html
Posting Komentar