Pertanyaan dari Pak Jaap membuatku terpana. Begitu lama beliau menginterogasiku dengan pertanyaan seputar sosok Guru Uban di dalam Rahasia Meede. Aku ingat Pak Saptomo, guru sejarah di SMA Taruna Nusantara. Aku suka dengan cara beliau mengajar tetapi tidak bisa dikatakan identik dengan gaya Guru Uban. Ah, tetapi sejarah SMA dengan pak Saptomo terutama soal politik dunia memang menarik juga.
Aku bertemu dengan Pak Jaap Erkelens di wisma PGI Menteng petang Sabtu kemaren. Pertemuan itu berawal dari pesan pendek yang aku terima dari Ibu Halida Hatta sehari sebelumnya. Dengan bahasa sederhana dan santun ala Bung Hatta beliau bilang Pak Jaap dari Belanda ingin bertemu denganku. Pesan dari Ibu Halida tentu tidak aku sia-siakan. Pak Jaap dulunya lama di Indonesia, tepatnya di KITLV jadi tidak ada alasan untuk melewatkan diskusi Meede ala pak Jaap dengan topik utama Guru Uban ini.
”Saya ingin guru sejarah seperti Guru Uban, seorang guru yang bisa bercerita di depan kelas. Maka sejarah tidak akan jadi membosankan”, lanjut Pak Jaap.
Aku setuju dengan Pak Jaap, tetapi bisakah karakter itu kita temukan di tengah dramatisasi pendidikan dengan orientasi dunia kerja ini? Bisakah lagi anak-anak punya kesempatan untuk menyelam di dalam palung masa lalu sementara mulut guru tidak bisa memberikan cukup oksigen untuk bantu mereka? Aku skeptis sejarah bisa jadi sesuatu yang menarik. Kenyataannya, seperti kata Pak Jaap, di Belanda sejarah digemari secara masif oleh orang awam. Sebuah majalah sejarah di sana ungkap Pak Jaap, aku lupa namanya, bahkan punya pelanggan lebih dari 30 ribu orang. Dengan merenungkan masa lalu kita memang tidak mengubah apa-apa. Tetapi lebih celaka lagi bila kita tidak memikirkannya, kita tidak pernah sadar mengulangi kesalahan yang sama.
Kami terus berbicara di balik isapan pipa rokok Pak Jaap yang klasik. Aku coba menceritakan cerita ketika aku diundang oleh guru-guru sekolah alam untuk bercerita tentang sejarah. Aku bercerita, bocah-bocah itu girang tidak kepalang. Mereka bertanya, menjawab merenungkan Indonesia. Ini gairah tetapi terkadang memenjarakan.
Tadi pagi, aku merenungkan lagi tentang Guru Uban. Bila satu sisi dirinya aku ambil, maka tidak ada sosok yang lebih aku ingat selain Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia adalah seorang guru, pejuang dan avonturir. Ya, Tan Malaka, aku ingin mengatakannya pada Pak Jaap. Sayang, senin kemarin pak Jaap sudah kembali ke Belanda.
1 komentar:
setuju. bangsa ini butuh cerita dan banyak pencerita. sejarah terlalu berharga untuk di lewatkan.
Posting Komentar