Bedah Novel Rahasia Meede di Jogjakarta. Sabtu 2 Pebruari 2008 pukul 16.00, MP Book Point Jogjakarta

Sabtu, 29 Desember 2007

Sekelumit Cerita Dari Launching Rahasia Meede

Pertama sekali, aku ingin menyampaikan permohonan maaf kepada banyak peserta launching yang terpaksa mesti turun kembali dari lantai II Bakoel Koffie Cikini karena kapasitas ruangan tidak lagi bisa memberikan kenyamanan. Sekaligus penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pembaca Rahasia Meede yang tidak mendapat ruang mengikuti acara diskusi yang kita lakukan pada Kamis, 27 Desember 2007. Kami sama sekali tidak memperkirakan bahwa jumlah peserta akan membludak sedemikian banyaknya dengan kapasitas ruangan yang mungkin hanya cukup menampung sekitar 100-an orang.


Maaf beriring syukur karena ternyata antusiasme peserta sangat tinggi untuk mengikuti acara ini. Inilah acara dimana tiap paradoks kita pertemukan. Potret masa lalu lewat potongan slide gambar dipadukan dengan sajian musik akustik dari generasi ABG masa kini. Demikian juga dengan pembicaranya. Bung Fadjroel Rachman yang dikenal anti tentara dipertemukan dengan Letjen (Purn) Agus Widjojo . Mas Donny Gahral yang punya pandangan lain tentang konsepsi sejarah dalam sastra beradu argumen dengan Pak Asvi Warman Adam. Sementara Indra Jaya Piliang yang memandang sinis terhadap keidealan sosok Kalek dan Batu dalam Rahasia Meede berhadapan dengan Tegus Usis yang optimis memandang nilai ideal yang diusung kedua tokoh tersebut. Hasilnya, sebuah diskusi yang sangat seru dengan suasana Ke-Indonesiaan yang sangat tinggi dimana sentimen personal lenyap untuk sesaat. Di tengah-tengah diskusi dan tanya jawab, aku mendapat kejutan dengan kedatangan Ibu Halida (puteri Bung Hatta) spontan aku mendaulat beliau untuk ikut berbicara di depan. Kejutan yang sangat mengesankan.


Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dyan, Pheo dan Agnes dari Srikandi Minutes Service (SMS) yang telah merancang, menyiapkan serta mengorganize acara ini sejak dua minggu yang lalu. Sama besarnya terima kasihku untuk Uda Indra Jaya Piliang yang telah menjamin terlaksananya kegiatan ini. Terima kasih sebesar-besarnya juga untuk Aples dan Cipto untuk mobilitas kegiatan. Untuk Empi dan Winda yang telah membantu pada hari-H bersama dengan kaum anarchis dari batas selatan Jakarta; Fauzan, Mendra, Mizan (nama orang) dan Romi. Untuk seniman masa depan yang tidak lahir dari kontes dadakan yang telah mengiringi acara ini dengan alunan gitar, raungan biola dan dentang gendang; Jonas (Gitar/vokal), Monday (Biola), Heru (Biola) dan Edo (perkusi). Tentu saja yang tidak boleh dilupakan terima kasih untuk Bung Miftah yang sebenarnya menjadi salah satu otak dibalik semua kegilaan ini.


Untuk teman-teman pers yang telah hadir, aku tidak bisa menyebutkan satu persatu kecuali yang sempat kontak bicara dan visual denganku dari Jak-tv, Trans7, Global tv, Kompas, Media Indonesia, Seputar Indonesia..................dan tentu saja dari Tabloid Parle yang telah menyediakan edisi gratis untuk acara ini. Terima kasih.


Aku pikir kita semua baru saja memulai sesuatu pada malam pengakuan kedaulatan 27 Desember tetapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya tengah kita mulai. Semoga masing kita telah menyiapkan jawaban sendiri. Untuk beberapa pihak dan tokoh yang tidak sempat aku sebutkan namanya, aku mengucapkan terima kasih dan mohon maaf untuk ketidaknyaman ruangan kemarin malam.

Kamis, 27 Desember 2007

launching meede

58 Tahun Kemenangan Diplomasi Indonesia

Launching Novel Rahasia Meede
Karya E.S. ITO


spice from Indonesia
rempah-rempah dari Nusantara

Kamis, 27 Desember 2007 pukul 19.00 WIB
Bakoel Koffie Cikini

Pembahas
Dr Asvi Warman Adam (Sejarawan LIPI)
Letjen (Purn) Agus Widjojo (Mantan Ketua LPTTN)
Indra Jaya Piliang (CSIS)
Fadjroel Rachman (Aktifis-sastrawan)
Dhonny Gahral Adian (Filusuf)

Moderator
Teguh Usis (Kupas Tuntas Trans7)


Informasi selengkapnya

Dyan : 021-8351931 / 08158712921
Pheo : 08128138182




Rabu, 26 Desember 2007

Resensi Rahasia Meede

Di Den Haag pada akhir tahun 1949, perundingan penting antara
Indonesia dan Belanda tengah dilakukan, konferensi meja bundar. Setelah menyepakati banyak hal, perundingan itu menemui jalan buntu ketika Belanda meminta Indonesia untuk melunasi hutang-hutang yang pernah dibuat oleh pemerintah kolonial sebagai syarat untuk pengakuan kedaulatan. Sumitro bersuara lantang menolak hutang yang tidak pernah dibuat Indonesia itu. Delegasi Hatta pun dilanda dilema. Bukankah Utang jagal bagi kedaulatan? Tetapi itulah masa ketika segalanya tampak mungkin. Bila manusia menyerah maka alam tidak, ia mengutus seseorang dari masa lalu. Dalam dingin malam yang membekukan, pria misterius itu meyakinkan delegasi Hatta
untuk menerima persyaratan itu. "Ontvangen maar die onderhandeling. Indonesie heeft niets te verliezen" ucapnya meyakinkan.

Lebih dari lima puluh tahun kemudian, wartawan muda koran Indonesiaraya Batu Noah Gultom mencium jejak pembunuhan berantai dengan korban orang penting di Boven Digoel Papua. Ini melengkapi tiga pembunuhan misterius sebelumnya di Bukittinggi, Brussel dan Bangka. Mata rantai pembunuhan itu itu adalah kesamaan huruf "B" pada huruf awal lokasi pembunuhan. Tetapi yang lebih penting adalah pesan yang diterima keluarga korban. Dosa-dosa sosial sebagaimana pernah ditulis oleh Mahatma Gandhi dalam majalah Young India pada tahun 1925. Penelusuran itu membawa Batu untuk mengungkap peristiwa kematian orang-orang bertato di utara Jakarta beberapa tahun silam. Misteri tato yang membawanya dalam petualangan di pulau Siberut, Mentawai.

Pada saat yang bersamaan tiga orang peneliti dari Belanda, Erick Marcellius de Noiijer, Rafael Alexander van de Horst dan Robert Stephane Daucet terjebak dalam gairah ilmu untuk menemukan de ondergrondse stad, kota bawah tanah di daerah kota tua Jakarta. Penelitian yang tekun menuntun mereka untuk mengungkap rahasia ratusan tahun. Kuncinya ada pada lukisan sketsa Batavia lama karya Johannes Rach, seorang pelukis Denmark yang bekerja untuk VOC, tiga setengah abad silam. Mereka menemukannya dalam bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Akan tetapi baru saja penemuan itu akan mereka rayakan, sebuah tragedi terjadi. Masih bisakah mereka kembali ke Belanda?

Cathleen Zwinckel adalah pendatang lain dari Belanda. Mahasiswa pascasarjana di Universitas Leiden itu mengaku tengah menyelesaikan thesis Master-nya tentang Sejarah Ekonomi Kolonial. Oleh profesornya, ia dititipkan pada CSA, sebuah lembaga think-thank terkemuka di Jakarta. Tetapi diam-diam ia memiliki agenda lain. Gadis cantik itu datang juga untuk mengungkap misteri ratusan tahun. Oleh profesornya, ia diminta untuk memecahkan misteri Surat Kew yang dikeluarkan oleh William V pada tahun 1795. Surat yang akan menuntunnya pada misteri terbesar yang selama ini hanya menjadi bisik-bisik, Het Geheim van Meede, Rahasia Meede. Kunci misteri itu ada pada sosok Suhadi, seorang arsiparis senior Arsip Nasional Republik Indonesia. Tetapi pekerjaan itu tidak semudah bayangan Cathleen. Jakarta mulai menunjukkan murkanya. Ia diculik kemudian terdampar di kepulauan rempah-rempah. Sosok gelap itu mulai terungkap; ia menginginkan semuanya. Laki-laki muda di balik penculikan itu bernama Kalek. Buronan nomor satu yang sempat dinyatakan tewas, dalang di balik peristiwa penyerbuan bersenjata dan kematian orang-orang bertato pada tahun 2002.

Pembunuhan berantai itu tidak berhenti. Tetapi Batu mulai bisa mencium jejak pembunuhnya. Tetapi di tengah-tengah penemuan itu, Parada Gultom, redaktur yang membawahi Batu di Indonesiaraya hilang tanpa jejak. Menemukan dirinya dalam ruang gelap dan kemudian dipaksa bicara setelah disuntik dengan Scopolamine, serum pengakuan. Sementara itu, Cathleen terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan yang ia takutkan dari Kalek. Tentang VOC, Monsterverbond hingga pembunuhan Pieter Erberveld pada bulan April 1722 di Batavia. Cathleen Zwinckel bertaruh dengan nasibnya. Sementara di balik ketegangan itu seorang guru biasa dipanggil Guru Uban hidup dalam kedamaian di Bojonggede. Tetapi di balik penampilan tenang, ia menyimpan sebuah rahasia.

Lembar demi lembar misteri mulai terungkap ketika Lalat Merah, nama sandi untuk seorang perwira muda pasukan Sandhi Yudha Kopassus memburu Kalek. Mereka berdua adalah teman karib ketika masih menjadi siswa SMA Taruna Nusantara. Tetapi kemudian masa depan menyodorkan pilihan pahit dalam persahabatan mereka; satu memburu yang lainnya. Dalam perburuan, Kalek mengirimkan isyarat dalam bentuk dialog Nabi Musa dan Nabi Khidr. Perlahan Lalat Merah membongkar misteri ini sambil terus berusaha menyelamatkan Cathleen Zwinckel. Pertanyaan-pertanyaan mulai terjawab, tentang peristiwa di tahun 2002, 1949, 1722, hingga masa akhir pemerintahan Deandels di Batavia. Pembunuhan berantai, kota bawah tanah, surat Kew, Monsterverbond, Erberveld, KMB berujung pada satu misteri harta karun VOC.

Bisakah rentetan pembunuhan itu dihentikan dan bagaimana sebenarnya jalinan panjang sejarah 400 tahun bermuara pada satu sosok manusia di masa kini?

Selasa, 11 Desember 2007

Ketika Pak Jaap Bertanya Tentang Sosok Guru Uban

”Apakah Guru Uban itu sosok Guru Sejarah SMA yang pernah mengajar anda?”

Pertanyaan dari Pak Jaap membuatku terpana. Begitu lama beliau menginterogasiku dengan pertanyaan seputar sosok Guru Uban di dalam Rahasia Meede. Aku ingat Pak Saptomo, guru sejarah di SMA Taruna Nusantara. Aku suka dengan cara beliau mengajar tetapi tidak bisa dikatakan identik dengan gaya Guru Uban. Ah, tetapi sejarah SMA dengan pak Saptomo terutama soal politik dunia memang menarik juga.

Aku bertemu dengan Pak Jaap Erkelens di wisma PGI Menteng petang Sabtu kemaren. Pertemuan itu berawal dari pesan pendek yang aku terima dari Ibu Halida Hatta sehari sebelumnya. Dengan bahasa sederhana dan santun ala Bung Hatta beliau bilang Pak Jaap dari Belanda ingin bertemu denganku. Pesan dari Ibu Halida tentu tidak aku sia-siakan. Pak Jaap dulunya lama di Indonesia, tepatnya di KITLV jadi tidak ada alasan untuk melewatkan diskusi Meede ala pak Jaap dengan topik utama Guru Uban ini.

”Saya ingin guru sejarah seperti Guru Uban, seorang guru yang bisa bercerita di depan kelas. Maka sejarah tidak akan jadi membosankan”, lanjut Pak Jaap.

Aku setuju dengan Pak Jaap, tetapi bisakah karakter itu kita temukan di tengah dramatisasi pendidikan dengan orientasi dunia kerja ini? Bisakah lagi anak-anak punya kesempatan untuk menyelam di dalam palung masa lalu sementara mulut guru tidak bisa memberikan cukup oksigen untuk bantu mereka? Aku skeptis sejarah bisa jadi sesuatu yang menarik. Kenyataannya, seperti kata Pak Jaap, di Belanda sejarah digemari secara masif oleh orang awam. Sebuah majalah sejarah di sana ungkap Pak Jaap, aku lupa namanya, bahkan punya pelanggan lebih dari 30 ribu orang. Dengan merenungkan masa lalu kita memang tidak mengubah apa-apa. Tetapi lebih celaka lagi bila kita tidak memikirkannya, kita tidak pernah sadar mengulangi kesalahan yang sama.

Kami terus berbicara di balik isapan pipa rokok Pak Jaap yang klasik. Aku coba menceritakan cerita ketika aku diundang oleh guru-guru sekolah alam untuk bercerita tentang sejarah. Aku bercerita, bocah-bocah itu girang tidak kepalang. Mereka bertanya, menjawab merenungkan Indonesia. Ini gairah tetapi terkadang memenjarakan.

Tadi pagi, aku merenungkan lagi tentang Guru Uban. Bila satu sisi dirinya aku ambil, maka tidak ada sosok yang lebih aku ingat selain Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia adalah seorang guru, pejuang dan avonturir. Ya, Tan Malaka, aku ingin mengatakannya pada Pak Jaap. Sayang, senin kemarin pak Jaap sudah kembali ke Belanda.

Kamis, 06 Desember 2007

Pagi Jahanam di Viosveld

Gerombolan bengal penguasa FISIP UI beberapa malam pada bulan Juli 2006 selalu menyambangiku dini hari. Situasinya selalu sama, aku muram di depan komputer sementara mereka selalu membawa beberapa bungkus Dji Sam Soe. Ya, Dji Sam Soe lebih bisa menstimulus otak untuk memikirkan sejarah bangsa ketimbang hapalan Pancasila. Inilah Juli biadab, satu tahun berlalu tetapi novel yang aku tulis tidak juga jelas juntrungannya. Aku telah berulangkali mendatangi kawasan kota tua, coba berjalan kaki dari gereja Sion di Jayakarta hingga pelabuhan Sunda Kelapa. Tetapi yang kudapatkan hanya comberan yang disiramkan mikrolet dari beceknya jalanan. Satu tahun setelah aku mengajak Dicky ke kawasan Kota, tidak ada yang berubah. Aku butuh sebuah peristiwa yang menggugah, menghajar relung emosi hingga mampu menuliskan sebuah hikayat.


Para penguasa FISIP UI itu, Hidra, Miftah, Eko, dan Romi + Aples, pencilan dari FKM UI, selalu berpikir bahwa aku tengah dalam tahap akhir penulisan. Sebabny mereka yakin, Dji Sam Soe bisa membuat lancar aliran memori meski memendekkan umur. Aku tahu apa yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa bengal itu, mereka tengah sibuk membantu Biner Tobing, Sekum Persija, untuk mempertahankan keberadaan stadion Menteng yang hendak diruntuhkan Pemprov DKI. Beberapa kali aku diajak, baru pada malam sebelum pagi jahanam aku ikut kesana.


Bang Biner, membuatku terkesan. Di tengah-tengah pengurus ia berbicara datar tentang pentingnya mempertahankan stadion. Ini malam yang panas di Menteng, para tuyul tengah gentayangan di antara rumah mewah tak berpenghuni. Aku berjalan sendiri mengitari stadion. Viosveld dibangun Belanda pada tahun 1921, bila membaca sejarah Persija, kita akan tahu betapa berartinya monumen sejarah ini. Di tengah-tengah pertemua, dua petugas Pemprov DKI masuk dan mengambil potret stadion, mereka diinterogasi massa. Tetapi tidak ada kekerasan. Inilah malam yang hening, ketika aku berbisik pada Bang Biner, ”ini semua mesti kita tuliskan, Bang”, omong kosong yang belum aku tepati hingga saat ini.


Malam dingin, beberapa pemuda berjaga di depan stadion. Ada belasan pedagang akan kehilangan mata pencarian. Ada ribuan manusia Jakarta kehilangan memori. Sementara setan-setan cilik tidak akan pernah tahu, peristiwa di balik stadion kumuh ini. Aku terenyuh tetapi emosi membangkitkan jari untuk segera menekan keyboard, inilah yang kubutuhkan sebuah peristiwa penentangan sejarah!!!


Yang terjadi esok paginya, tentu bisa ditebak, ketika aku dan Aples datang dari Depok setelah mendapatkan mobil Sound System untuk aksi demonstrasi, kami mendapati stadion tengah diruntuhkan. Penyerbuan telah terjadi, beberapa orang dipukuli oleh feses kapitalisme-birokrasi bernama Tramtib. Miftah kena satu bogem mentah di punggung. Beberapa pemuda yang berjaga juga tidak luput dari hajaran. Puluhan polisi mengawal peruntuhan itu. Belasan Provost Angkatan Laut ikut datang, satu orang Letkol (L) pengurus PSAL ikut dalam barisan Biner Tobing, itu sebabnya provost didatangkan. Ah, Viosveld telah diruntuhkan, piala dan piagam serta dokumen berserakan di depan reruntuhan. Aku mengambil beberapa foto, sayang aku lupa di laptop siapa foto itu disimpan. Viosveld benar-benar telah diruntuhkan..habis...hancur, secepat bangsa ini melupakan sejarahnya. Aku teringat Hatta, kita memang bangsa kerdil yang hadir di tengah abad besar!

Begitulah, orang-orang sekarang menikmati Taman Menteng, aku menelan ludah. Bersama anak-anak bengal itu aku ikut berjanji untuk tidak pernah menikmati taman itu. Sejauh ini janji itu masih kami tepati. Itulah pagi jahanam di Menteng. Tetapi untuk menatap sejarah mungkin aku memang perlu melihat sebuah peristiwa penghancuran monumennya. Aku beruntung hadir di malam dan pagi jahanam itu. Tentang Bang Biner, aku baru tahu pada bulan Juli lalu, kalau beliau sudah tidak aktif lagi di Persija pada saat tidak sengaja aku satu hotel dengan sang Letkol Laut yang sekarang telah jadi Kolonel di Manokwari.


Yang paling berharga dalam diri manusia adalah ingatan. Bila itu dihancurkan artinya kita tinggal menjadi gerombolan primata tanpa budaya. Itulah Jakarta.

Senin, 03 Desember 2007

7 Seandainya JP Coen.....


JP Coen itu sebuah nama yang bisa digantikan dengan kata, malapetaka, bencana, wabah atau sebutkan satu kata paling mengerikan yang ada dalam benak anda. Tetapi mari kita berandai-andai, sebagaimana kebiasaan bangsa beradab ini, tentang kemungkinan-kemungkinan di luar takdir yang dijalani JP Coen.

1. Seandainya JP Coen tetap memilih pekerjaan sebagai akuntan di Venesia tentu malapetaka ini tidak perlu aku masukkan dalam blog apalagi dalam novel Rahasia Meede.


2. Seandainya kapal yang ditumpangi JP Coen dari kampung halamannya di Hoorn celaka di tengah laut, mungkin nasib nenek moyang kita yang pengecut dan gampang disogok itu tidak lebih celaka dari nasib kita sekarang.


3. Seandainya JP Coen tetap memilih jadi akuntan di Nusantara tentu ia akan bangkrut karena tidak ada klien. Nah, tertutup pula lah peluang ia untuk jadi gubernur jenderal.


4.Seandainya JP Coen tidak mendengar kematian Pieterzoon Verhoven tentu tragedi Banda di tahun 1621 tidak perlu terjadi. Tetapi itulah kenyataan sejarah, ia melakukan pembantaian hingga penduduk Banda tinggal sepertiga, sisanya itu pun dijadikan budak.


5. Seandainya JP Coen berhasil mengegolkan idenya untuk mengganti nama Jayakarta menjadi Niew Hoorn, tentu sekarang ada maskapai penerbangan bernama Niew Hoorn Air


6. Seandainya JP Coen mati karena serbuan tentara Mataram nya Sultan Agung dan bukan karena penyakit, tentu ada sedikit hal yang bisa dibanggakan dari nenek moyang bangsa ini. Sayangnya tidak!


7. Seandainya JP Coen sama sekali asing di telinga anda, lalu buat apa saya membuat tulisan ini???

Meede di Cak Tarno; Bung Hatta Yang Jomblo dan Guru Uban Yang Misterius

Siang kemarin (Sabtu 1/12/2007), aku mengajak Mamat duduk melingkar dengan belasan orang lainnya di kedai buku Cak Tarno, gang Kober UI. Diskusi Rahasia Meede ini difasilitasi oleh Damhuri Muhammad. Kebetulan resensi sang cerpenis kita itu tentang Rahasia Meede Sabtu pagi baru saja dimuat di Harian Media Indonesia. Inilah diskusi kecil yang benar-benar mengasyikkan. Berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang intelektual yang kuat, seperti menambah energi baru untuk ide-ide yang lebih segar. Ah, jangan bayangkan ini diskusi yang serius. Tetapi ngawur juga bila dikatakan diskusi ini hanya ngomong ngalur ngidul. Ini sebuah diskusi yang mengasyikkan tentang Rahasia Meede.

Banyak sekali pertanyaan yang menjadi bahan diskusi kami siang kemarin yang ditemani secangkir kopi dan kepulan asap rokok. Beberapa yang menarik misalnya, tentang harta karun VOC. Tradisi kolonial Belanda, berbeda dengan Portugis, hampir tidak pernah melakukan penimbunan harta tetapi langsung membawa hasilnya ke Belanda. Bagaimana harta karun VOC ini bisa dijelaskan? Aku menjawabnya simpel saja, karena yang melakukan itu bukan VOC, tetapi Monsterverbond (organ Klendestin yang terbentuk pada pertengahan abad ke-17). Tujuan penimbunan sama sekali tidak terkait dengan gagasan kolonialisme tetapi untuk memperkuat posisi Monsterverbond dalam mendudukkan orang-orangnya dalam posisi penting di VOC hingga akhirnya Cornelis Janszoon Speelman duduk sebagai gubernur jenderal pada tahun 1682. Monsterverbond, sebagaimana aku jelaskan dalam Rahasia Meede, yang muncul pada masa gubernur jenderal Joan Maetsuyker, menyadari mulai turunnya nilai komoditas rempah-rempah karena nyaris semua akses ke timur telah terbuka untuk barat. Itu sebabnya mereka melirik emas, sebab nilai emas selalu naik sepanjang masa.

Diskusi diinterupsi oleh beberapa peserta yang belum membaca Rahasia Meede, pertanyaannya mudah, Makhluk apakah Meede itu? Ya, aku lupa menjelaskan ini. Meede adalah nama seorang perempuan, puteri dari Pieter Erberveld. Ayahnya itu adalah seorang Mardjikers, keturunan Indo Eropa yang tinggal di kawasan elit Jacatraweg. Pada akhir tahun 1721, pemerintahan gubernur jenderal Henricus Zwardecroon menuduh Erberveld merencakana pemberontakan pada akhir tahun. Erberveld akhirnya ditangkap. Tanpa pernah terbukti, Erberveld dihukum mati pada tanggal 22 April 1722, tubuhnya ditarik dengan empat ekor kuda di kawasan yang kita kenal dengan nam Gang Pecah Kulit di kawasan Kota. Konon, Meede lah yang membocorkan rencana ayahnya itu lewat kekasihnya seorang Kapten Belanda. Setelah ayahnya tewas, Meede pun menghilang. Membawa sebuah rahasia yang selama itu dicari-cari oleh pemerintahan Zwardecroon. Meede membawa rahasia emas yang ditimbun oleh Monsterverbond. Itu sebabnya novel ini diberi judul Rahasia Meede. (Lengkapnya baca Rahasia Meede aja ah!)

Berikutnya, kenapa aku memakai nama Indonesiaraya sebagai nama koran dalam cerita Rahasia Meede. Bukankah koran tersebut telah dibredel pada awal 1980-an, kenapa muncul di tahun 2000-an. Jawabnya, aku sengaja memakai Indoensiaraya untuk membedakannya dengan Indonesia Raya Mochtar Lubis yang telah dibreidel, maka aku tidak memakai spasi antara dua kata itu. Aku tidak ingin mengacaukan konteks waktu, tetapi aku sebenarnya hanya ingin memperkenalkan bentuk perlawanan masa lalu yang telah mati yaitu pers yang berani dan mencerdaskan, itulah Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis. Aku tidak tahu generasi sekarang peduli atau tidak. Aku juga tidak peduli apa mereka peduli dengan apa yang coba aku angkat.

Apakah Rahasia Meede berusaha mendekonstruksi masa kini dengan masa lalu? Sulit bagiku untuk menjawab tidak. Aku mengangkat tema VOC, karena VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia. Kekuasan dagangnya mulai dari Tanjung Harapan di Afrika hingga lepas pantai Deshima Jepang. Semuanya berpusat di Batavia. VOC mengeluarkan saham dan membagikan dividen dengan komisaris Heeren Zeventeen (Tuan-Tuan Yang Tujuh Belas). Bila kita bicara tentang cengkeraman perusahaan multinasional di Indonesia (apalagi dengan presiden kita yang gemar mengucapkan kata investasi) sebenarnya kita-lah korban pertama dari model usaha seperti itu. Raja-raja dari kerajaan lemah nusantara yang mudah dibujuk dengan uang oleh VOC adalah cerminan dari pejabat kita pada masa sekarang. Aku hanya ingin mengatakan, setelah 400 tahun, ternyata tabiat bangsa kita tidak berubah. Miskin gagasan tetapi gemar kemewahan sehingga mudah ditaklukkan.

Pertanyaan yang menggelitik, beberapa pembaca di kedai buku Cak Tarno melihat ada beberapa karakter, misalnya Ekonom di Rahasia Meede yang penggambarannya nyaris persis dengan karakter yang sama dengan ekonom kontemporer. Atau apakah CSA = CSIS atau peran politik Angkatan Darat yang sangat besar sehingga bisa mementahkan penyelidikan kepolisian, adakah itu memang direncanakan untuk sinisme pada tokoh atau lembaga tertentu? Kalau itu aku serahkan pada pembaca saja.

Ada juga yang menanyakan tentang kemisteriusan Guru Uban. Seorang guru sejarah yang nyentrik, muncul dengan tema-tema sejarah unik dalam pengajarannya di sebuah SMA di Bojong Gede. Misalnya tentang sejarah JP Coen dan sejarah ilmu akuntansi. Bagaimana ia mendapatkan tema-tema itu, atau bagaimana bisa pendalaman mater sejarahnya sejauh itu, apakah Guru Uban itu transformasi dari sosok penulis sendiri? Aku jawabnya ringan saja, pertama tentang JP Coen dan Akuntansi, ya memang dia seorang akuntan dulunya. Ia belajar di Venesia kota tempat berkembangnya akuntansi yang diperkenalkan Luca Pachioli. Disanalah ia belajar debet, kredet, jurnal dan ledger. Ketika tiba di nusantara, kelak ia mempraktikkan akuntansinya; uang ia letakkan pada debet, darah ia letakkan pada kredit dalam sebuah buku besar bernama nusantara (jawaban aku tidak selengkap ini kemarin, tetapi anda bisa temukan dalam Rahasia Meede semua jawabannya). Tetapi menurutku, akuntasi itu ilmu yang paling membosankan, seperti perawan tua! Darimana Guru Uban mendapatkan semua itu, aku serahkan pada intepretasi pembaca.

Pertanyaan yang tidak kalah serunya, bagaimana bisa aku menyandingkan ajaran Hatta dan Gandhi sebagai dasar Ideologi Kelompok Anarki Nusantara. Jawabannya tidak sulit, ada dalam Rahasia Meede. Ahimsa Gandhi adalah perjuangan politik tanpa kekerasan bagi Hatta. Satyagraha Gandhi dijalankan Hatta dengan politik non kooperasi.. Sedangkan swadeshi Gandhi, bagi Hatta adalah penguatan kemandirian ekonomi lewat koperasi. Dan Hartal, pemogokan. Cukup kuatlah bukti dengan penolakan Hatta terhadap tawaran Kapten Van Langen di Boven Digoel untuk menerima uang saku 40 sen dan tambahan ransum dengan syarat ia masuk golongan werkwillig. Golongan yang mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Ia pilih masuk golongan naturalis, mendapatkan ransum seadanya. Tetapi ada sedikit perbedaannya, Bung Hatta jauh lebih berhasil dibanding Gandhi. Sang Mahatma gagal untuk mencegah perpecahan India dan Pakistan. Sementara Bung Hatta berhasil menjaga keutuhan republik lewat lobi penghapusan tujuh kata piagam Jakarta.

Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang kami diskusikan. Bukan hanya pertanyaan tetapi diskusi menarik meneropong sejarah dengan cara “seenak jidat” kita tanpa kehilangan esensinya.

Pertanyaan terakhir dari seorang peserta diskusi; kita semua tahu konseptor dari proklamasi itu adalah Bung Hatta, tetapi kenapa Bung Karno yang membacakan proklamasi???

Jawabanku simpel saja, Jomblo kayak Bung Hatta belum boleh membacakan proklamasi!!! (sepi dari perempuan, Bung Hatta baru menikah setelah Indonesia Merdeka, sesuai janji beliau)

Jawaban lainnya yang rada kurang ajar dari penanya tadi, karena Bung Hatta kepalanya tidak sampai ke mikropon, makanya Bung Karno yang lebih tinggi yang membacakannya!!!

Ha...Ha...Ha... daripada ribut-ribut dalam kebodohan mendingan menertawakan sejarah dengan kecerdasan. Diskusi di Cak Tarno RUAAAAARRR BIASA MANTAPNYA!

7 Dosa Rahasia Meede

1. Kolonialisme itu tidak lebih dari percintaan antara barat dan timur. Barat yang agresif dan timur yang pasif.


2.Televisi adalah nuklir moral, radiasinya menghancurkan tatanan peradaban. Mengembalikan manusia pada hakikat hewani dengan nafsu dasar perut dan kelamin


3. Suharto +'98+Dom Perignon = Bangsa Yang Sekarat


4. Menteng Akar Borjuisme Jakarta!!!


5. Kau melepaskan kebebasanmu bila menjadi warganegara. Kau akan kehilangan logika bila percaya pada demokrasi dan perwakilan. Dan yang paling bodohnya, kau akan kehilangan akal sehat bila memberi mandat pada badut-badut di Senayan sana.


6. Dulu nenek moyang kita hidup damai dalam animisme dan dinamisme tetapi sejak agama impor dari Arab dan Eropa masuk sini, kau tahu sendiri apa yang terjadi.....


7. Dangdut dan Dji Sam Soe telah menyatukan masyarakat kelas empat Indonesia jauh lebih sakti dibanding Pancasila!

Sonai Dari Kaka Yusuf

Sonai, gadis hitam manis dengan gigi putih dari Waropen. Aku bahkan bisa melamunkan sosoknya pada saat menulis tentang petualangan wartawan Batu Noah Gultom hingga pedalaman Boven Digoel Papua. Pada awalnya aku nyaris kehilangan akal memikirkan nama untuk tokoh wartwan muda dari Papua itu. Tetapi pertemuan tidak sengajaku dengan Kaka Yusuf Sawaki di hotel Singgasana Makassar mempertemukan aku dengan gadis imajiner Papua nan cantik itu.



Kami berdua sama-sama hadir untuk sebuah kegiatan dua hari di Makassar. Kebetulan menjadi berkah, kami ditempatkan pada kamar yang sama di lantai 7 hotel tersebut. Kaka Yusuf adalah dosen sastra Inggirs di Universitas Negeri Papua di Manokwari.
Laki-laki berperawakan kecil itu lulusan Master dari sebuah universitas di Amerika sana. Diskusi Kami dimulai dengan masalah integrasi Papua dengan Indonesia yang tidak menyertakan integrasi kebudayaan. Itu sebabnya Papua masih dilihat sebagai ”makhluk asing” di tengah ras Melayu Indonesia. Kebudayaan Papua hanya dikenal lewat koteka, honai dan tentu saja perang suku. Dan ia terus menerus dianggap bagian yang mesti terus menyesuaikan dengan kemajuan lain di Indonesia. Itu sebabnya pohon persatuan tidak pernah tumbuh menjuang di Papua.



Pembicaraan yang panjang lebar itu membuat aku banyak tersenyum. Saat yang tepat untuk memberi nama yang bagus untuk tokoh wartawan perempuan Papua dalam novelku. Aku menanyakan satu nama perempuan yang khas dari kampung halaman Kaka Yusuf, daerah Waropen. Spontan ia menyebutkan nama Sonai. Secepat itu pula aku langsung menerima gagasan nama itu. Lantas aku pinjam marganya Kaka Yusuf, jadilah nama si cantik itu menjadi Sonai Sawaki. Aku berutang pada Kaka Yusuf untuk nama dan latar belakang karakter dari daerah Waropen.



Beberapa bulan silam, aku mengunjungi kota Manokwari. Aku coba menghubungi kaka Yusuf lewat telepon genggam tetapi nomor yang bersangkutan ternyata tidak aktif lagi. Aku hanya bisa berharap, kelak bisa bertemu lagi dengan Kaka Yusuf lantas kembali menggunjingkan tentang kebudayaan Papua yang sengaja dipinggirkan oleh Indonesia.

Mentawai Dari Sang Jenderal Tato

Mentawai adalah sebuah keterasingan di Sumatera Barat yang notabene identik dengan suku Minangkabau. Mentawai adalah sesuatu yang lain bukan saja karena kepulauan itu jauh dari daratan Minangkabau tetapi lebih pada pada perbedaaan akar budaya yang membentuknya. Itu sebabnya di Sumatera Barat, Mentawai hanya sebuah sampiran picisan dari kebudayaan Minangkabau yang senantiasa diagung-agungkan. Aku pun melewatkan Mentawai dalam rentang usia seperempat abad.


Mentawai menjadi sesuatu yang berharga pada saat aku menelusuri jejak budaya tato di Indonesia. Kalau tidak salah, hanya ada 3 sub etnis di Indonesia yang mengenal budaya tato permanen, Mentawai, Dayak dan Sumba. Pada saat pencarian itu aku menemukan nama Adi Rosa, dosen seni rupa di Universitas Negeri Padang. Lewat kontak Bung Nasrul di Dewan Kesenian Sumbar aku berhasil menghubungi Bapak Ady Rosa yang dalam salah satu media nasional disebut sebagai sang jenderal tato. Tidak sampai dalam hitungan bulan dua dokumen penelitan dan satu tesis master beliau di ITB tentang tato tradisional dikirimkan. Benar-benar penelusuran budaya yang menarik. Sesuatu yang aku lewatkan sekarang membuat aku jatuh cinta.


Sejak itulah aku mencari tahu segala sesuatu tentang Mentawai. Kami baru bertemu di kantor penghbung Pemda Sumbar di Matraman, Jakarta beberapa bulan sebelum novel ini rampung. Tentang tato penelusuranku jadi semakin mendalam, apalagi kemudian aku dikenalkan pada dua orang perempuan Mentawai yang akan menjadi.


Tentang tato Mentawai, tampaknya itu bukan sekedar kekonyolan ala budaya pop. Ia semacam identitas, jejak masa silam dan tapal batas peradaban yang gamang untuk dilewati.

Disiplin Hatta ala Deliar Noer

Tidak sulit untuk menemui Bapak Deliar Noer. Cukup bikin janji dengan sekretaris beliau sambil menjelaskan maksud tujuan lalu ikuti jadwal yang ditentukan Pak Deliar. Aku masih ingat, hari Senin itu, aku bikin janji dengan Pak Deliar pukul 2 siang. Dari Depok, tanpa direncakana terlebih dahulu, Miftah dan Romi anak Fisip UI juga ingin ikut menemui sang guru politik itu. Akhirnya kami berangkat bertiga dengan dua sepeda motor.


Takut terlambat, kami cepat berangkat selepas Zuhur menuju jalan Swadaya di daerah Duren Sawit. Aku mendengar cerita dari seorang kawan, bahwa dalam beberapa hal pak Deliar terobsesi dengan disiplin ala Bung Hatta. Terlambat satu menit bisa menjadi masalah besar nantinya disana. Syukur saja, kami tiba benar-benar tepat jam 2. Bahkan beberapa menit kami lewatkan untuk menunggu Pak Deliar keluar. Perkenalan pertama dengan Pak Deliar aku pikir akan berjalan lancar. Tentu saja lancar sebab aku tidak terlambat sama sekali. Tetapi ketika aku selesai menyalami beliau, tatap mata Pak Deliar terhenti pada dua sosok cecunguk yang aku bawa dari Depok. Sorot matanya kemudian tajam menatapku.


“Saudara bikin janji dengan saya, katanya mau datang sendiri. Nah, ini kok jadi bertiga? Saudara ini bagaimana ???”


Aku gelagapan. Berusaha menyampaikan semua alasan yang melintas dalam pikiran. Tetapi untunglah kami bertiga tetap dipersilahkan masuk ke dalam ruang tamunya yang lapang. Tampaknya Bapak Gaek yang satu ini tidak suka basa-basi ala adat ketimuran. Maka aku langsung menyampaikan maksud keinginan untuk melakukan wawancara seputar sosok Hatta yang ingin aku angkat dalam novel. Pak Deliar pun bercerita dengan lancar tentang pengalaman beliau dengan Bung Hatta plus (beberapa kali) kritik beliau pada Bung Karno yang suka kawin. Sedikit menyimpang, beliau bercerita bagaimana dulu di rumah yang asri ini banyak anak muda yang suka datang berdiskusi. Tiba-tiba dengan penuh percaya diri Miftah memotong.


“Wah saya dulu juga pernah kesini Pak. Dulu ikut dengan Etek yang aktif di PII”, ia berharap kata-kata itu akan mencairkan suasana.

“Saudara ini, memang bisanya cuma ikut-ikutan saja!!!”, balas Pak Deliar ketus.


Ha...Ha...Ha Miftah ternganga, aku dan Romi tidak bisa menahan tawa. Seketika cairlah suasana. Mengertilah kami bagaimana orang jaman dulu membangun joke dengan sinisme.


Ah, saat ini, aku masih belum bisa memenuhi janjiku pada Pak Deliar Noer untuk kembali berdiskusi di Duren Sawit.

Dari Pieter Erberveld hingga Alwi Shahab

Pertama kali aku mengenal sosok Pieter Erberveld adalah lewat tulisan Bapak Alwi Shahab pada rubrik Nostalgia Koran Republika, Desember 2000. Satu tulisan lagi dari sumber yang sama, aku temukan dalam rubrik yang sama dalam penanggalan yang berbeda.

Apa yang menarik dari Erberveld? Selain pemberontakannya yang tidak pernah terjadi pada penghujung tahun 1721 dan keputusan hukum mati yang ia jalani dengan kejam pada tahun April 1722, laki-laki mardjikers itu meninggalkan begitu banyak misteri. Tidak ada sumber sejarah hingga saat ini yang bisa memberikan tingkat keyakinan 100 % mengenai motif pemberontakan Erberveld. Tidak ada juga sumber resmi yang menunjukkan jejak sejarah tentang peran Meede, puteri Erberveld dalam peristiwa terbongkarnya isu pemberontakan.


Aku mendatangi gang pecah kulit, konon disanalah tubuh Erberveld ditarik empat ekor kuda ke tiap penjuru mata angin. Aku juga mendatangi lokasi rumah Erberveld di jalan Pangeran Jayakarta. Dulu, pada lokasi itu terdapat satu prasasti dibikin pemerintah VOC untuk mengenang pengkhianatan Erberveld. Tetapi tentara pendudukan Jepang meruntuhkannya pada saat menduduki Indonesia. Ketika prasati itu dibangun kembali, giliran kapitalisme Jepang meruntuhkannya pada tahun 1985. Aku membayangkan rumah Erberveld di kawasan elit Jacatraweg, tetapi yang tampak hanyalah sosok bangunan kokoh showroom Toyota.


Untuk memastikan semua cerita tentang Erberveld, aku bikin janji dengan Bapak Alwi Shahab. Kami kemudian bertemu di kantor Harian Republika di Pejaten. Peristiwa unik, seorang penulis karbitan melakukan wawancara dengan recorder kecil di sarangnya para penulis. Pertemuan yang menyenangkan, Pak Alwi menceritakan detail sejarah Jakarta, tidak hanya cerita Erberveld. Beliau benar-benar ensiklopedi berjalan sejarah Jakarta. Beberapa hari kemudian beliau mengirimkan sebuah nama yang sangat berharga untuk penulisan novel ini; Kapten Clusse.


Misteri yang menghinggapi sosok Erberveld adalah pesona untuk tiap penikmat sejarah. Dan kita pun bebas untuk menginterpretasikan sosok tersebut.

Hikayat Phinisi dari Daeng Laut

“Ah, phinisi…coba Bapak lihat itu kapal berwarna hijau buram. Bandingkan dengan kapal coklat di sebelahnya. Perahu yang pendek lambungnya itu punya orang Melayu, di sebelahnya dengan lambung tinggi dan tiang-tiang gagah phinisi Bugis”


Aku masih ingat percakapan pada suatu senja di pelabuhan Sunda Kelapa itu. Tetapi aku tidak tahu lagi bagaimana cara menemukan laki-laki tua itu. Padaku ia mengaku bernama Daeng Laut. Pada masa mudanya, ia ikut armada phinisi. Di sisa usia saat itu, ia mencari nafkah dengan perahu kecil membawa penumpang sewa dari Sunda Kelapa ke seberang (aku lupa nama tempatnya tetapi kalau tidak salah Muara Baru).


Ini bukan pertemuan yang direncanakan. Ketika aku dan Aples telah lelah mengambil foto kapal-kapal kayu yang bersandar di pelabuhan Sunda Kelapa, kami berbincang pada batas dermaga selagi ia menunggu penumpang. Daeng Laut bertutur banyak tentang phinisi. Penuh narsisme, laki-laki itu menceritakan keanggunan, kegagahperkasaan dan filosofi phinisi. Detail ia menjelaskan proses pembuatan sebuah phinisi, tentang kayu hingga bambu melingkar untuk merapatkan kayu.


Perbincangan itu seketika menambatkan phinisi di dasar otakku. Aku tidak ingin melepaskan kapal tradisional kebanggaan Bugis ini dari jalinan cerita yang tengah terangkai di dalam otakku. Phinisi bukan sekedar narsisme Bugis milik Daeng Laut dan sub etnisnya, tetapi adalah gairah Nusantara.


Pada batas beton dermaga kami berpisah, Daeng Laut membakar lagi sebatang rokok Sam Soe yang tadi padam akibat ia sibuk bercerita. Tumpangan telah datang. Dalam dunia orang pelabuhan, tidak ada nomor kontak yang ditinggalkan. Kelak hanya angin dan ombak yang mempertemukan. Terima kasih, Daeng!

Dicky dan Dasaad Musin Building

Akhir Juli 2005, aku mengajak kemenakanku, Dicky, yang datang dari Jambi mengitari kawasan kota tua Jakarta. Alasan klise ku pada bocah kelas menengah daerah itu, bahwa aku ingin memperlihatkan sisi lain dari kota Jakarta yang selama ini dimanipulasi oleh, mall, sinetron dan demonstrasi. Ah, tetapi sebenarnya Dicky yang baru lulus SMA itu mengerti, Om-nya yang lagi hidup susah ini hanya ingin mengalihkan kemenakannya dari mall yang berbiaya tinggi.

Kami duduk pada bangku besi yang terletak di pinggir taman Fatahillah. Lelah berceloteh tentang Museum Sejarah Jakarta, aku membalikkan badan menatap sesosok bangunan tua yang rapuh, sebagian diantara dindingnya nyaris hancur. Bangunan itu tampak seperti sisa dari sebuah perang yang kejam. Aku balik berjalan mengitari bangunan tersebut hingga persis di belakang bangunan tepatnya di jalan Kali Besar, aku bisa melihat sisa goresan nama pada dinding bangunan, Dasaad Musin Building. Bangunan itu membangkitkan gairah. Ini seperti penemuan yang mendebarkan, memecah kebekuanku menunggu terbitnya novel Negara Kelima.


Aku tidak memiliki kamera digital pada saat itu, pun aku tidak memiliki keterampilan untuk menggoreskan sketsa bangunan yang sexy itu. Tetapi dari dalam tas buru-buru aku keluarkan kertas dan pinsil, aku menggambar denahnya lengkap dengan keterangan sesuai laporan pandangan mata. Dicky mungkin menganggapku orang gila kesurupan pada akhir Juli penuh dahaga itu. Tetapi aku telah mendapatkan gairah pada hari itu. Dasaad Musin Building, Museum Fatahillah, kantor pos Jakarta Kota hingga gereja Sion dan pelabuhan Sunda Kelapa adalah gairah baru.


Dua tahun kemudian, gairah pada Juli yang kerontang menjadi api yang membakar ikon VOC!

Tujuh Pertanyaan Konyol Tentang Rahasia Meede

7 Pertanyaan Konyol Tentang Rahasia Meede
Setiap kali orang berbincang tentang Rahasia Meede dengan saya maka pertanyaan konyol yang telah ribuan kali saya dengarkan itu akan muncul kembali. Bukannya tidak sudi menjawab, tetapi menurut saya pertanyaan itu terlalu klise. Penuh basa-basi sebagaimana budaya timur yang kita junjung tinggi. Nah, karena pertanyaan-pertanyaan itu menumpuk dan terus mengalami repetisi dari orang yang berbeda, saya coba menanggapi. Misalnya pertanyaan tentang :

1. Darimana ide menulis rahasia Meede?
Darimana anda dapat ide pertanyaan ini?
2. Kenapa tertarik menulis sejarah?
Karena dulunya yang nulis sejarah tentara macam Nugroho Notosutanto, saatnya orang sipil menulis sejarah.
3. Kenapa menyembunyikan identitas asli?
Kalau saya mengumbar identitas dalam bentuk CV lengkap, apa bedanya novel ini dengan surat lamaran kerja?
4. Anda sering disebut sebagai Dan Brown-nya Indonesia?
Coba bandingkan langsung Rahasia Meede dan Da Vinci Code. Lalu sebutkan 7 perbedaan mendasar. Setelah itu ambil kesimpulan. Yang jelas saya tidak tertarik memperdagangkan kecacatan dogma agama.
5. Banyak topik terlalu detail dalam novel ini, kenapa?
Bahkan sudah detail pun anda masih bertanya, bagaimana seandainya saya bikin tidak detail.
6. Novel anda selalu menunjukkan kegelisahan terhadap masa sekarang, kenapa?
Anda sudah gila, kalau tidak gelisah melihat Indonesia!
7. Kenapa penerbit terkesan tidak mempromosikan novel ini?
"Hanya Menerbitkan Buku", itu semboyan semua penerbit di Indonesia.

Dari Padang Membengkokkan Peradaban

Dari Padang Membengkokkan Peradaban
Dalam perkenalan di warung kopi, setengah jam sebelum diskusi Rahasia Meede pada ajang Padang Bookfair 15 November 2007 kemarin, laki-laki itu menyebut usianya 72 tahun. Ia membawa Negara Kelima dan Rahasia Meede untuk segores tandatangan. Ah, bukankah, apa yang tengah ditampilkan Pak Rusli ini semacam Old Enthusiasm. Semangat yang terus menyala untuk menyikapi kegelisahan zaman. Lalu di dalam forum ia bersuara mengumpat zaman, menikam kekinian tetapi tidak hendak kembali ke masa lalu.

Tugas generasi sekarang memang bukan sekedar membenamkan diri pada masa lalu tetapi lebih dari itu, yaitu membengkokkan peradaban. Membuat peradaban bengkok artinya menjadikan waktu itu acak. Tiap kejadian pada masa sekarang tidak lebih dari reinkarnasi dari kejadian serupa dengan tokoh berbeda di masa silam. Masa lalu perlu ditampilkan lewat wajah masa kini, agar kejadian-kejadian masa sekarang mendapat jawaban dari peristiwa serupa di masa lalu.

Wajah masa depan sketsanya telah ada di masa lalu. Tugas penulis adalah menguatkan garis sketsa sehingga generasi masa depan bisa mewarnainya dengan cara yang lebih baik. Bukan dengan chaos sebagaimana tingkah polah generas

Minggu, 02 Desember 2007

Harry A Poeze

rahasia meede contoh sastra baru di Indonesia- thriller sejarah dengan kombinasi fiksi dan fakta. Ini sejalan dengan aliran sastra dunia yang baru. Kita akan dibawa melompat ke masa VOC, revolusi Indonesia.....dan masa kini.

(Dr. Harry Poeze; Direktur KITLV Press, Leiden Netherland)

Fajroel Rachman

Novel ini, dahsyat detil sejarahnya, inspiring. pramudya ananta toer muda sudah lahir dengan kompleksitas penulis generasi abad 21 tetapi tetap gigih membela manusia dan merayakan kebebasan

(Fajroel Rachman; esais, novelis, penyair dan penggagas "memo indonesia)

Effendi Ghazali, PhD

menantang kecerdasan, logika dan cara anda memandang dunia nyata bahkan sampai bagaimana anda menginterpretasinya sesudah membaca buku ini! Sebagai salah seorang pecinta inovasi saya rekomendasikan karya ini.

(Effendi Ghazali , PhD; Pakar komunikasi UI, perintis parodi politik di Indonesia)

Indra J Piliang

Sesuatu yang hanya jadi fakta sejarah sebuah bangsa, akan tampak seperti huruf, angka dan peristiwa yang mati. Tanpa makna. Tak bergerak. Membutakan mata. Menghidupkan kembali fakta itu lewat imajinasi yang disusun rapi dan sistematis diiringi gairah dan pesona, serta kejutan adalah bagian dari upaya memperlambat kematian sebuah bangsa. E.S. ITO si peneruka hulu sejarah dan laju zaman, telah mencatatkan diri sebagai novelis tambo modern republik Indonesia, justru ketika elite bangsa ini sibuk dengan kepikunan kolektif: berputar-berputar pada kekinian dan kedisinian.

(Indra J Piliang, Peneliti CSIS/Direktur Eksekutif YHBI)

John De-Rantau

Sebuah karya yang sangat provokatif untuk membaca ulang sejarah yang pernah terjadi di nusantara. Setiap babak membuka banyak rahasia bangsa ini secara mengejutkan. Mulai dari pemetaan jakarta yang penuh dengan sejarah gelap diungkap Ito secara mengejutkan dan membelalakkan mata. Uniknya fiksi ini menggabungkan sesuatu yang pernah terjadi dengan kejelian fiksinya seperti karya Frederick Forshit dan Dan Brown serta kandungan sastra seperti Pramudya Ananta Toer atau SB Chandra dengan karya-karya di serial les hitam. Uniknya lagi, karya ini dilihat dari sudut pandang anak-anak Belanda sendiri yang tetap dengan niat serakahnya untuk mengusung kolonialisme baru yang berkedok penelitian. Anak-anak muda wajib mengetahui dan membaca fakta-fakta yang dijadikan latar belakang historis dan dibeberkan novel ini. Satu tema yang jarang diungkap pengarang lain, termasuk oleh sastrawan terkenal di nusantara. Di sini Ito punya nilai lebih yang tidak dipunyai pengarang lain. Keunikan tema mengalir dengan lancar tanpa basa-basi, sehingga sesuatu yang berat jadi mengalir indah dan punya kedalaman. Sebagai sutradara sudah seharusnya film-film Indonesia mengangkat sumber dari karya anak bangsa yang punya reputasi internasional. Ito sedikit dari anak muda yang punya kepedulian terhadap itu semua

(John-de Rantau; sutradara/penulis skenario ”Denias, Senandung di Atas Awan)

Budiman Sudjatmiko

membaca novel sejarah selalu meninggalkan impresi tersendiri, sesaat setelah membacanya kita sering ditinggalkan dalam takjub pertanyaan ini, "benarkah segala hal besar yang menentukan hidup kita, hari ini ditentukan oleh perbuatan unik orang-orangyang tepat di saat yang tepat?"membaca rahasia meede, kita jadi termangu-mangu menatap sebuah bangunan besar negara-bangsa bernama indonesia kini, kita diberitahu dan diingatkan pada tanah tempat dimana bangunan besar tersebut berdiri, saat ia masih berupa semak belukar dimana misteri menjadi satu-satunya jalan setapak yang ada

(budiman sujatmiko, pegiat politik muda)

Andrinof A Chaniago

Ini karya langka yang memadukan imajinasi cerdas dengan falsafah hidup, ilmu pengetahuan, heroisme, kecerdasan, idealisme dan realitas politik yang tersembunyi. Dengan riset yang tekun, nyaris menjadikan karya E.S. ITO ini sempurna. Ia bisa membangunkan generasi sekarang yang terlanjur mengabaikan sejarah.

(Andrinof A Chaniago; peneliti Ekonomi-Politik)

M Chatib Basri

Tidak banyak novel yang mampu memadukan imajinasi dan latar belakang sejarah. Dengan alur dan bahasa yang mengalir, kita dibawa E.S. ITO dalam lika-liku sejarah. Sebuah buku dengan dukungan riset amat kuat.

(M. Chatib Basri; Direktur LPEM FEUI)

Donny Gahral Adian

Sebuah novel sejarah yang cukup kaya data dengan ploting ala dan brown. Penuh suspense disana sini

Donny Gahral Adian (Filusuf)

H. Timbo Siahaan

Lewat Rahasia Meede, E.S. ITO menjelaskan dengan sangat menggairahkan detail sejarah Jakarta (H. Timbo Siahaan, Pemimpin Redaksi JakTV)

Osrifeol Oesman

imajinasi latar dan ruang yang memukau...alur cerita yang mendebarkan. Kognisi padat, dengan analog-analog mengejutkan dan cenderung sarkastik!

Osrifoel Oesman (Arsitek dan Arkeolog)