Bedah Novel Rahasia Meede di Jogjakarta. Sabtu 2 Pebruari 2008 pukul 16.00, MP Book Point Jogjakarta

Senin, 03 Desember 2007

Meede di Cak Tarno; Bung Hatta Yang Jomblo dan Guru Uban Yang Misterius

Siang kemarin (Sabtu 1/12/2007), aku mengajak Mamat duduk melingkar dengan belasan orang lainnya di kedai buku Cak Tarno, gang Kober UI. Diskusi Rahasia Meede ini difasilitasi oleh Damhuri Muhammad. Kebetulan resensi sang cerpenis kita itu tentang Rahasia Meede Sabtu pagi baru saja dimuat di Harian Media Indonesia. Inilah diskusi kecil yang benar-benar mengasyikkan. Berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang intelektual yang kuat, seperti menambah energi baru untuk ide-ide yang lebih segar. Ah, jangan bayangkan ini diskusi yang serius. Tetapi ngawur juga bila dikatakan diskusi ini hanya ngomong ngalur ngidul. Ini sebuah diskusi yang mengasyikkan tentang Rahasia Meede.

Banyak sekali pertanyaan yang menjadi bahan diskusi kami siang kemarin yang ditemani secangkir kopi dan kepulan asap rokok. Beberapa yang menarik misalnya, tentang harta karun VOC. Tradisi kolonial Belanda, berbeda dengan Portugis, hampir tidak pernah melakukan penimbunan harta tetapi langsung membawa hasilnya ke Belanda. Bagaimana harta karun VOC ini bisa dijelaskan? Aku menjawabnya simpel saja, karena yang melakukan itu bukan VOC, tetapi Monsterverbond (organ Klendestin yang terbentuk pada pertengahan abad ke-17). Tujuan penimbunan sama sekali tidak terkait dengan gagasan kolonialisme tetapi untuk memperkuat posisi Monsterverbond dalam mendudukkan orang-orangnya dalam posisi penting di VOC hingga akhirnya Cornelis Janszoon Speelman duduk sebagai gubernur jenderal pada tahun 1682. Monsterverbond, sebagaimana aku jelaskan dalam Rahasia Meede, yang muncul pada masa gubernur jenderal Joan Maetsuyker, menyadari mulai turunnya nilai komoditas rempah-rempah karena nyaris semua akses ke timur telah terbuka untuk barat. Itu sebabnya mereka melirik emas, sebab nilai emas selalu naik sepanjang masa.

Diskusi diinterupsi oleh beberapa peserta yang belum membaca Rahasia Meede, pertanyaannya mudah, Makhluk apakah Meede itu? Ya, aku lupa menjelaskan ini. Meede adalah nama seorang perempuan, puteri dari Pieter Erberveld. Ayahnya itu adalah seorang Mardjikers, keturunan Indo Eropa yang tinggal di kawasan elit Jacatraweg. Pada akhir tahun 1721, pemerintahan gubernur jenderal Henricus Zwardecroon menuduh Erberveld merencakana pemberontakan pada akhir tahun. Erberveld akhirnya ditangkap. Tanpa pernah terbukti, Erberveld dihukum mati pada tanggal 22 April 1722, tubuhnya ditarik dengan empat ekor kuda di kawasan yang kita kenal dengan nam Gang Pecah Kulit di kawasan Kota. Konon, Meede lah yang membocorkan rencana ayahnya itu lewat kekasihnya seorang Kapten Belanda. Setelah ayahnya tewas, Meede pun menghilang. Membawa sebuah rahasia yang selama itu dicari-cari oleh pemerintahan Zwardecroon. Meede membawa rahasia emas yang ditimbun oleh Monsterverbond. Itu sebabnya novel ini diberi judul Rahasia Meede. (Lengkapnya baca Rahasia Meede aja ah!)

Berikutnya, kenapa aku memakai nama Indonesiaraya sebagai nama koran dalam cerita Rahasia Meede. Bukankah koran tersebut telah dibredel pada awal 1980-an, kenapa muncul di tahun 2000-an. Jawabnya, aku sengaja memakai Indoensiaraya untuk membedakannya dengan Indonesia Raya Mochtar Lubis yang telah dibreidel, maka aku tidak memakai spasi antara dua kata itu. Aku tidak ingin mengacaukan konteks waktu, tetapi aku sebenarnya hanya ingin memperkenalkan bentuk perlawanan masa lalu yang telah mati yaitu pers yang berani dan mencerdaskan, itulah Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis. Aku tidak tahu generasi sekarang peduli atau tidak. Aku juga tidak peduli apa mereka peduli dengan apa yang coba aku angkat.

Apakah Rahasia Meede berusaha mendekonstruksi masa kini dengan masa lalu? Sulit bagiku untuk menjawab tidak. Aku mengangkat tema VOC, karena VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia. Kekuasan dagangnya mulai dari Tanjung Harapan di Afrika hingga lepas pantai Deshima Jepang. Semuanya berpusat di Batavia. VOC mengeluarkan saham dan membagikan dividen dengan komisaris Heeren Zeventeen (Tuan-Tuan Yang Tujuh Belas). Bila kita bicara tentang cengkeraman perusahaan multinasional di Indonesia (apalagi dengan presiden kita yang gemar mengucapkan kata investasi) sebenarnya kita-lah korban pertama dari model usaha seperti itu. Raja-raja dari kerajaan lemah nusantara yang mudah dibujuk dengan uang oleh VOC adalah cerminan dari pejabat kita pada masa sekarang. Aku hanya ingin mengatakan, setelah 400 tahun, ternyata tabiat bangsa kita tidak berubah. Miskin gagasan tetapi gemar kemewahan sehingga mudah ditaklukkan.

Pertanyaan yang menggelitik, beberapa pembaca di kedai buku Cak Tarno melihat ada beberapa karakter, misalnya Ekonom di Rahasia Meede yang penggambarannya nyaris persis dengan karakter yang sama dengan ekonom kontemporer. Atau apakah CSA = CSIS atau peran politik Angkatan Darat yang sangat besar sehingga bisa mementahkan penyelidikan kepolisian, adakah itu memang direncanakan untuk sinisme pada tokoh atau lembaga tertentu? Kalau itu aku serahkan pada pembaca saja.

Ada juga yang menanyakan tentang kemisteriusan Guru Uban. Seorang guru sejarah yang nyentrik, muncul dengan tema-tema sejarah unik dalam pengajarannya di sebuah SMA di Bojong Gede. Misalnya tentang sejarah JP Coen dan sejarah ilmu akuntansi. Bagaimana ia mendapatkan tema-tema itu, atau bagaimana bisa pendalaman mater sejarahnya sejauh itu, apakah Guru Uban itu transformasi dari sosok penulis sendiri? Aku jawabnya ringan saja, pertama tentang JP Coen dan Akuntansi, ya memang dia seorang akuntan dulunya. Ia belajar di Venesia kota tempat berkembangnya akuntansi yang diperkenalkan Luca Pachioli. Disanalah ia belajar debet, kredet, jurnal dan ledger. Ketika tiba di nusantara, kelak ia mempraktikkan akuntansinya; uang ia letakkan pada debet, darah ia letakkan pada kredit dalam sebuah buku besar bernama nusantara (jawaban aku tidak selengkap ini kemarin, tetapi anda bisa temukan dalam Rahasia Meede semua jawabannya). Tetapi menurutku, akuntasi itu ilmu yang paling membosankan, seperti perawan tua! Darimana Guru Uban mendapatkan semua itu, aku serahkan pada intepretasi pembaca.

Pertanyaan yang tidak kalah serunya, bagaimana bisa aku menyandingkan ajaran Hatta dan Gandhi sebagai dasar Ideologi Kelompok Anarki Nusantara. Jawabannya tidak sulit, ada dalam Rahasia Meede. Ahimsa Gandhi adalah perjuangan politik tanpa kekerasan bagi Hatta. Satyagraha Gandhi dijalankan Hatta dengan politik non kooperasi.. Sedangkan swadeshi Gandhi, bagi Hatta adalah penguatan kemandirian ekonomi lewat koperasi. Dan Hartal, pemogokan. Cukup kuatlah bukti dengan penolakan Hatta terhadap tawaran Kapten Van Langen di Boven Digoel untuk menerima uang saku 40 sen dan tambahan ransum dengan syarat ia masuk golongan werkwillig. Golongan yang mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Ia pilih masuk golongan naturalis, mendapatkan ransum seadanya. Tetapi ada sedikit perbedaannya, Bung Hatta jauh lebih berhasil dibanding Gandhi. Sang Mahatma gagal untuk mencegah perpecahan India dan Pakistan. Sementara Bung Hatta berhasil menjaga keutuhan republik lewat lobi penghapusan tujuh kata piagam Jakarta.

Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang kami diskusikan. Bukan hanya pertanyaan tetapi diskusi menarik meneropong sejarah dengan cara “seenak jidat” kita tanpa kehilangan esensinya.

Pertanyaan terakhir dari seorang peserta diskusi; kita semua tahu konseptor dari proklamasi itu adalah Bung Hatta, tetapi kenapa Bung Karno yang membacakan proklamasi???

Jawabanku simpel saja, Jomblo kayak Bung Hatta belum boleh membacakan proklamasi!!! (sepi dari perempuan, Bung Hatta baru menikah setelah Indonesia Merdeka, sesuai janji beliau)

Jawaban lainnya yang rada kurang ajar dari penanya tadi, karena Bung Hatta kepalanya tidak sampai ke mikropon, makanya Bung Karno yang lebih tinggi yang membacakannya!!!

Ha...Ha...Ha... daripada ribut-ribut dalam kebodohan mendingan menertawakan sejarah dengan kecerdasan. Diskusi di Cak Tarno RUAAAAARRR BIASA MANTAPNYA!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

"Tetapi ada sedikit perbedaannya, Bung Hatta jauh lebih berhasil dibanding Gandhi. Sang Mahatma gagal untuk mencegah perpecahan India dan Pakistan. Sementara Bung Hatta berhasil menjaga keutuhan republik lewat lobi penghapusan tujuh kata piagam Jakarta."

Ada kepingan yg (di)hilang(kan) dari perbandingan anda terhadap perpecahan India dan Pakistan dan keutuhan Republik......mundurnya Bung Karno karena "todongan senjata" soeharto.....