Bedah Novel Rahasia Meede di Jogjakarta. Sabtu 2 Pebruari 2008 pukul 16.00, MP Book Point Jogjakarta

Kamis, 06 Desember 2007

Pagi Jahanam di Viosveld

Gerombolan bengal penguasa FISIP UI beberapa malam pada bulan Juli 2006 selalu menyambangiku dini hari. Situasinya selalu sama, aku muram di depan komputer sementara mereka selalu membawa beberapa bungkus Dji Sam Soe. Ya, Dji Sam Soe lebih bisa menstimulus otak untuk memikirkan sejarah bangsa ketimbang hapalan Pancasila. Inilah Juli biadab, satu tahun berlalu tetapi novel yang aku tulis tidak juga jelas juntrungannya. Aku telah berulangkali mendatangi kawasan kota tua, coba berjalan kaki dari gereja Sion di Jayakarta hingga pelabuhan Sunda Kelapa. Tetapi yang kudapatkan hanya comberan yang disiramkan mikrolet dari beceknya jalanan. Satu tahun setelah aku mengajak Dicky ke kawasan Kota, tidak ada yang berubah. Aku butuh sebuah peristiwa yang menggugah, menghajar relung emosi hingga mampu menuliskan sebuah hikayat.


Para penguasa FISIP UI itu, Hidra, Miftah, Eko, dan Romi + Aples, pencilan dari FKM UI, selalu berpikir bahwa aku tengah dalam tahap akhir penulisan. Sebabny mereka yakin, Dji Sam Soe bisa membuat lancar aliran memori meski memendekkan umur. Aku tahu apa yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa bengal itu, mereka tengah sibuk membantu Biner Tobing, Sekum Persija, untuk mempertahankan keberadaan stadion Menteng yang hendak diruntuhkan Pemprov DKI. Beberapa kali aku diajak, baru pada malam sebelum pagi jahanam aku ikut kesana.


Bang Biner, membuatku terkesan. Di tengah-tengah pengurus ia berbicara datar tentang pentingnya mempertahankan stadion. Ini malam yang panas di Menteng, para tuyul tengah gentayangan di antara rumah mewah tak berpenghuni. Aku berjalan sendiri mengitari stadion. Viosveld dibangun Belanda pada tahun 1921, bila membaca sejarah Persija, kita akan tahu betapa berartinya monumen sejarah ini. Di tengah-tengah pertemua, dua petugas Pemprov DKI masuk dan mengambil potret stadion, mereka diinterogasi massa. Tetapi tidak ada kekerasan. Inilah malam yang hening, ketika aku berbisik pada Bang Biner, ”ini semua mesti kita tuliskan, Bang”, omong kosong yang belum aku tepati hingga saat ini.


Malam dingin, beberapa pemuda berjaga di depan stadion. Ada belasan pedagang akan kehilangan mata pencarian. Ada ribuan manusia Jakarta kehilangan memori. Sementara setan-setan cilik tidak akan pernah tahu, peristiwa di balik stadion kumuh ini. Aku terenyuh tetapi emosi membangkitkan jari untuk segera menekan keyboard, inilah yang kubutuhkan sebuah peristiwa penentangan sejarah!!!


Yang terjadi esok paginya, tentu bisa ditebak, ketika aku dan Aples datang dari Depok setelah mendapatkan mobil Sound System untuk aksi demonstrasi, kami mendapati stadion tengah diruntuhkan. Penyerbuan telah terjadi, beberapa orang dipukuli oleh feses kapitalisme-birokrasi bernama Tramtib. Miftah kena satu bogem mentah di punggung. Beberapa pemuda yang berjaga juga tidak luput dari hajaran. Puluhan polisi mengawal peruntuhan itu. Belasan Provost Angkatan Laut ikut datang, satu orang Letkol (L) pengurus PSAL ikut dalam barisan Biner Tobing, itu sebabnya provost didatangkan. Ah, Viosveld telah diruntuhkan, piala dan piagam serta dokumen berserakan di depan reruntuhan. Aku mengambil beberapa foto, sayang aku lupa di laptop siapa foto itu disimpan. Viosveld benar-benar telah diruntuhkan..habis...hancur, secepat bangsa ini melupakan sejarahnya. Aku teringat Hatta, kita memang bangsa kerdil yang hadir di tengah abad besar!

Begitulah, orang-orang sekarang menikmati Taman Menteng, aku menelan ludah. Bersama anak-anak bengal itu aku ikut berjanji untuk tidak pernah menikmati taman itu. Sejauh ini janji itu masih kami tepati. Itulah pagi jahanam di Menteng. Tetapi untuk menatap sejarah mungkin aku memang perlu melihat sebuah peristiwa penghancuran monumennya. Aku beruntung hadir di malam dan pagi jahanam itu. Tentang Bang Biner, aku baru tahu pada bulan Juli lalu, kalau beliau sudah tidak aktif lagi di Persija pada saat tidak sengaja aku satu hotel dengan sang Letkol Laut yang sekarang telah jadi Kolonel di Manokwari.


Yang paling berharga dalam diri manusia adalah ingatan. Bila itu dihancurkan artinya kita tinggal menjadi gerombolan primata tanpa budaya. Itulah Jakarta.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

VOC. Begitu banyak reinkarnasimu !
http://www.historycooperative.org/journals/jwh/14.2/vink.html